Pengertian Manajemen
Asal kata manajemen adalah
dari bahasa inggris yaitu to manage yaitu mengurus, ada juga yang
menggunakan istilah tata laksana, yang terpenting dari kandungan makna
tersebutadalah manajemen mempunyai pengertian pengurusan suatu usaha atau
dengan penegrtian lain manjemen adalah mengurus, mengatur membina, memimpin
agar tujuan suatu usaha tercapai sesuai yang dikehendaki.
George R. Terry dalam “Principles
of Management”
Manajemen merupakan suatu proses yang terdiri dari tindakan
perencanaan, pengorgsanisasian, penggerakan dan penegndalian yang dilakukan
untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui
pemanfaatan sumberdaya mnusia dan sumer-sumber lainnya.
Harold Koonzt dan Cyril
O’Donnel dalam “Principle of Management An Analysis of management Functions”
menyebutkan bahwa manajemen adalah usaha mencapai tujuan tertentu melalui
kegiatan orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas jumlah
aktvitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penempatan,
penggerakan, dan penegndalian.
Malayu SP hasibuan
mendefinisiakan manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan
sumber daya manusia dan sumber sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Pengertian Manajemen Produksi dan Operasi
Fograrty (1989) pada buku Eddy
Hejanto (Manajemen Produksi dan Operasi, 2003:2)
“mendefinisikan manajemen produksi dan operasi
sebagai suatu proses secara berkesinambungan dan efektif menggunakan fungsi
manajemen untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya secara efisien dalam
mencapai tujuan”.
Suatu kegiatan (proses) yang
berkesinmabungan atau kontinyu bukan suatu kegiatan yang berdiri sendiri,
keputusan manajemen yang bukan merupakan keputusan sesaat tetapi tindakan yang
berkelanjutan atau suatu proses yang kontinyu.
Manajemen produksi dan operasi
ini harus mempunyai pengtahuan luas mengnai fungsi manajemen yaitu perencanaan
(planning), pengorganisasian (Organizing), penggerakan (actuating),
dan pengendalian (cotrolling), dimana fungsi manajemen ini di
intregasikan dengan faktor-faktor produksi yaitu SDA (sumber daya alam), SDM (sumber daya manusia), SDT (modal) dan
Keahlian (Skill) yang kemudian diolah (produksi) untuk menghasilkan
barang dan jasa, faktor-faktor produksi ini diolah seefektif dan seefisien
mungkin.
Dalam proses tersebut kegiatan
yang efektif yang berarti segala kegiatan harus dilakukan secara tepat dan
sebaik-baiknya serta mencapai hasil; sesuai dengan yang diharapkan produksi dan
operasi juga dituntut untuk efisien agar dapat mengoptimalkan sesuatu produk
sesuai yang direncanakan.
Persediaan
Menurut
Rangkuti (2007):
persediaan (Inventory)
didefensikan sebagai suatu aktiva yang meliputi barang-barang milik perusahaan
dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode usaha tertentu untuk memenuhi
permintaan dari konsumen atau pelanggan setiap waktu.
Sedangkan
menurut Hani Handoko (2000),
persediaan (Inventory)
adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber
daya-sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap
pemenuhan permintaan baik internal maupun eksternal.
Tampubolon (2004) menyatakan:
manajemen
persediaan sangat berkaitan dengan system persediaan di dalam suatu perusahaan
yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam proses konversi.
Modul
Universitas Gunadarma (n.d) menyatakan:
Manajemen persediaan
mengharuskan adanya pengelolaan persediaan untuk merencanakan dan mengendalikan
persediaan pada tingkat yang optimum. Perlu untuk menentukan kualitas
persediaan yang wajar untuk memenuhi pengelolaan/produksi atas suatu dasar yang
terjadwal dan sesuai dengan order pelanggan.
Menurut Yamit, (2002) dalam Hari (2005),
persediaan merupakan kekayaan perusahaan yang memiliki peranan penting dalam
operasi bisnis, maka perusahaan perlu melakukan manajemen persediaan proaktif,
artinya perusahaan harus mampu mengantisipasi keadaan maupun tantangan yang ada
dalam manajemen persediaan untuk mencapai sasaran akhir dalam manajemen
persediaan, yaitu untuk meminimasi total biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan untuk penanganan persediaan.
Penggolongan
Persediaan
Mulyadi (2001) mengelompokkan persediaan
sebagai berikut: “Dalam perusahaan manufaktur persediaan terdiri dari :
persediaan produk jadi, persediaan produk dalam proses, persediaan bahan baku,
persediaan bahan penolong, persediaan habis pakai pabrik, persediaan suku
cadang. Dalam perusahaan dagang persediaan hanya terdiri dari satu golongan
saja yaitu persediaan barang dagangan”
Menurut Willson dan Campbell yang
dialihbahasakan oleh Tjintjin Fenix Tjendera (2001) pengelolaan persediaan
secara luas adalah:
Secara
luas fungsi pengelolaan persediaan meliputi pengarahan arus dan penanganan
barang secara wajar mulai dari penerimaan sampai pergudangan dan penyimpanan,
menjadi barang dalam pengolahan dan barang jadi, sampai berada di tangan
pelanggan
Tujuan
Pengelolaan Persediaan
Suatu pengendalian persediaan yang
dijalankan oleh suatu perusahaan sudah tentu memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Agus Ristono, tujuan pengelolaan persediaan adalah
a)
Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau
permintaan konsumen dengan cepat (memuaskan konsumen)
b)
Untuk menjaga kontinuitas produksi atau
menjaga agar perusahaan tidak mengalami kehabisan persediaan yang mengakibatkan
terhentinya proses produksi, hal ini dikarenakan alasan:
ð
Kemungkinan barang (bahan baku dan
penolong) menjadi langka sehingga sulit untuk diperoleh
ð
Kemungkinan supplier terlambat
mengirimkan barang yang dipesan
c)
Untuk mempertahankan dan bila mungkin
meningkatkan penjualan dan laba perusahaan
d)
Menjaga agar pembelian secara
kecil-kecilan dapat dihindari, karena dapat mengakibatkan ongkos pesan menjadi
besar
e)
Menjaga supaya penyimpanan dalam
emplacement tidak besar-besaran, karena akan mengakibatkan pemborosan tempat.
Persediaan merupakan salah satu unsur
paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara kontinu diperoleh, diubah,
kemudian dijual kembali.
Sedangkan menurut Hanson Mowen (1997)
menyatakan alasan menyimpan persediaan yaitu:
1.
Untuk menyeimbangkan antara biaya
pemesanan dan biaya penyimpanan
2.
Untuk memuaskan permintaan pelanggan
3.
Untuk menghindari fasilitas yang tidak
dapat bekerja
4.
Proses yang tidak dapat diandalkan
5.
Untuk mengambil keuntungan dan
diskon-diskon
6.
Untuk berjaga-jaga jika terjadi kenaikan
harga dimasa datang
Zangwill menyatakan dalam Narendra
(2004) “pandangan lama tentang memiliki sejumlah inventori yang bernilai dalam
lingkungan stabil dan dapat diduga tetapi dalam ketidakpastian yang semakin
besar, pandangan baru tentang waktu respon yang cepat dan fleksibillitas
diperlukan”.
Menurut
Agus Ristono (2008)
Pengendalian pengadaan
persediaan perlu diperhatikan karena berkaitan langsung dengan biaya yang harus
ditanggung perusahaan sebagai akibat adanya persediaan. Oleh sebab itu,
persediaan yang ada harus seimbang dengan kebutuhan, karena persediaan yang
terlalu banyak akan mengakibatkan perusahaan menanggung risiko kerusakan dan
biaya
Penyimpanan yang tinggi di samping biaya
investasi yang besar. Tetapi jika terjadi kekurangan persediaan akan berakibat
terganggunya kelancaran dalam proses produksinya
Pengelolaan inventori akan sangat
berbeda bila permintaan tergantung atau tidak pada kondisi pasar. Menurut
permintaannya, persediaan dapat dibedakan menjadi dua macam (Tersine 1994):
1.
Independent
demand inventory, yakni persediaan yang jumlahnya tidak
dipengaruhi oleh jumlah persediaan barang lainnya.
2.
Dependent
demand inventory, yakni persediaan yang jumlahnya
dipengaruhi oleh jumlah persediaan barang lainnya.
Menurut
Sumayang (2003),
Independent
demand inventory merupakan permintaan pasar yang
kadang-kadang menunjukkan pola yang tetap tetapi kadang-kadang terpengaruh oleh
permintaan yang acak atau keinginan pelanggan yang berubah.
Dependent
demand inventory mempunyai pola permintaan yang
bergejolak atau yang ada dan tidak ada atau “on-off” karena penyelesaian barang
jadi dijadwalkan dalam paket atau lot.
“Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi”,
a.
Pada system independent demand
inventory, maka model yang tepat adalah pengisian kembali persediaan dengan
jumlah yang digunakan atau merupakan penggantian atau replenishment. Pada saat
persediaan mulai berkurang maka kondisi ini akan memacu untuk segera melakukan
pemesanan sebagai ganti persediaan yang telah sigunakan.
b.
Pada system dependent demand, apabila
persediaan berkurang maka pemesanan belum dapat dilakukan. Pemesanan akan
dilakukan bila ada permintaan barang dari tahapan proses berikutnya.
Manajemen Persediaan
Manajemen persediaan memerlukan
perhatian yang penting dari pihak manajemen perusahaan karena manajemen yang
buruk dapat menimbulkan masalah baik dalam kegiatan beroperasi mauoun dalam
bisnis.
Maksud dari manajemen persediaan adalah
untuk menentukan jumlah persediaan yang disimpan yaitu seberapa banyak
persediaan yang disimpan, berapa banyak yang harus dipesan, dan kapan
persediaan harus diisi kembali.
Indrajat dan Djoko Pranoto (2003) dalam
Henmaidi dan Heryseptemberiza (2007) menyatakan “Manajemen persediaan
(Inventory Control) adalah kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan penentuan kebutuhan material sehingga kebutuhan
operasi dapat dipenuhi pada waktunya dan persediaan dapat ditekan secara
optimal.”Manajemen persediaan juga berkaitan
dengan manajemen logistik, manajemen logistik juga membahas mengenai gudang,
pergerakan (pemindahan) dan penyimpanan. Manajemen logistik menurut Donal
(2002) “proses pengelolaan yang strategis terhadap pemindahan dan penyimpanan
barang, suku cadang dan barang jadi dari para supplier, diantara
fasilitas-fasilitas perusahaan dan kepada para langganan”.
Prestasi logistik diukur dengan:
1.
Availability (penyediaan), Availability
adalah menyagkut kemampuan perusahaan untuk secara konsisten memenuhi kebutuhan
material atau produk, jadi availability menyangkut level persediaan.
2.
Capability (kemampuan), menyangkut jarak
dan waktu antara penerimaan suatu pesanan dengan pengantaran barangnya.
Capability terdiri dari kecepatan pengantaran dan konsistennya dalam jangka
waktu tertentu.
3.
Quality (mutu), menyangkut berapa jauh
baiknya tugas logistic itu secara keseluruhan dilaksanakan, dilihat dari
besarnya kerusakan, item-item yang betul, pemecahan masalah-masalah yang tak
terduga.
Praktisnya, persediaan
hanya mengatur jumlah dan kapan pemesanan dilakukan, sedangkan logistik
mengatur secara detail mengenai posisi barang di gudang, bagaimana sirkulasi
barang di gudang bisa lancar, tidak hanya mengenai berapa dan kapan persediaan
harus dilakukan.
Fungsi-Fungsi Persediaan
Persediaan dapat melayani beberapa
fungsi yang akan menambahkan fleksibilitas operasi perusahaan. Fungsi
persediaan menurut Rangkuti (2007), yaitu:
1.
Fungsi Decuopling, untuk membantu
perusahaan agar bisa memenuhi permintaan langganan tanpa tergantung pada
supplier.
2.
Fungsi Economic Lot Sizing, persediaan
ini perlu mempertimbangkan penghematan-penghematan (potongan pembelian, biaya
pengangkutan per unit lebih murah dan sebagainya) karena perusahaan melakukan
pembelian dalam kuantitas yang lebih besar, dibandingkan dengan biaya-biaya
yang timbul karena besarnya persediaan (biaya sewa gudang, investasi, risiko,
dan sebagainya)
3.
Fungsi antisipasi, untuk mengantisipasi
dan mengadakan permintaan musiman (seasonal inventories), menghadapi ketidakpastian
jangka waktu pengiriman dan untuk menyediakan persediaan pengamanan (safety
stock)
Selain fungsi fungsi di atas,
Menurut Herjanto ( 1997 ) dalam Priyanto
(2007) terdapat enam fungsi penting yang dikandung oleh persediaan dalam
memenuhi kebutuhan perusahaan, antara lain :
1.
Menghilangkan resiko keterlambatan
pengiriman bahan baku atau barang yang dibutuhkan perusahaan.
2.
Menghilangkan resiko jika material yang
dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan.
3.
Menghilangkan resiko terhadap kenaikan
harga barang atau inflasi.
4.
Untuk menyimpan bahan baku yang
dihasilkan secara musiman sehingga perusahaan tidak akan kesulitan bila bahan
tersebut tidak tersedia di pasaran.
5.
Mendapatkan keuntungan dari pembelian
berdasarkan potongan kuantitas ( Quantity discount )
6.
Memberikan pelayanan kepada langganan
dengan tersedianya bahan yang diperlukan.
Biaya dalam Persediaan
Untuk pengambilan keputusan penentuan
besarnya jumlah persediaan, ada beberapa biaya yang harus dipertimbangkan oleh
perusahaan. Hani Handoko (2000) menjelaskan bahwa biaya yang timbul dari
persediaan itu adalah:
1.
Biaya penyimpanan (holding cost atau
carrying), adalah biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan
kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila
kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak, atau rata-rata persediaan semakin
tinggi. Biaya-biaya yang termasuk dalam penyimpanan adalah:
a.
Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan
(termasuk penerangan, pemanas dan pendingin).
b.
Biaya modal (opportunity cost of
capital, yaitu alternative pendapatan atas dana yang diinvestasikan
dalam persediaan).
c.
Biaya keusangan
d.
Biaya perhitungan phisik dan konsiliasi
laporan
e.
Biaya asurani persediaan
f.
Biaya pajak persediaan
g.
Biaya pencurian, pengrusakan, atau
perampokan
h.
Biaya penanganan persediaan.
2.
Biaya pemesanan (ordering cost),
mencakup biaya pasokan, pemrosesan pesanan dan biaya ekspedisi, upah, biaya
telephone, pengeluaran surat menyurat, biaya pengepakan dan penimbangan, biaya
pemeriksaan (inspeksi) penerimaan, biaya pengiriman ke gudang, biaya hutang
lancar.
3.
Biaya penyiapan (manufacturing). Biaya
penyiapan biasanya lebih banyak digunakan dalam pabrik, perusahaan menghadapi biaya
penyiapan untuk memproduksi komponen tertentu.
4.
Biaya kehabisan atau kekurangan. Biaya
kekurangan bahan (shortage cost) sangat sulit diperkirakan, biaya ini timbul
bilamana persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya yang temasuk
pada biaya ini antara lain: kehilangan penjualan, kehilangan langganan, biaya
pemesanan khusus, biaya ekspedisi, selisih harga, terganggunya operasi,
tambahan pengeluaran kegiatan manajerial.
Pengawasan Persediaan
Pengawasan persediaan sangat berperan
penting dalam mengetahui keadaan persediaan di gudang.Menurut Donal (2002)
“Pengawasan persediaan adalah suatu prosedur mekanis untuk melaksanakan suatu
kebijakan persediaan. Aspek accountability dari pengawasan ini akan mengukur
berapa unit yang ada di tangan pada suatu lokasi tertentu dan terus mengikuti
penambahan dan pengurangan terhadap kuantitas dasar..”
Sukanto
(2003) menyatakan bahwa pengawasan persediaan berfungsi:Sebagai penyangga factor proses produksi
sehingga proses dapat berjalan terus,menetapkan banyaknya yang harus disimpan
sebagai sumber daya agar tetap ada, sebagai pengurang inflasi,menghindari
kekurangan/kelebihan bahan.
Sedangkan
menurut Rangkuti (2007),
Menjaga jangan sampai kehabisan
persediaan, supaya pembentukan persediaan stabil dan
menghindari pembelian kecil-kecilan sehingga terjadi pemesanan yang ekonomis.
Sistem Pengendalian Persediaan
Tujuan dari pengendalian persediaan
yaitu untuk membantu mengetahui aliran barang yang sudah habis terjual dan yang
masih tinggal di gudang.
Menurut
Sugiri ( 1995 ), terdapat dua alternatif sistem pengendalian persediaan, yaitu
:
a.
Sistem Fisik ( Periodik )
Pada sistem fisik, harga pokok penjualan
baru dihitung dan dicatat pada akhir periode akuntansi.Cara yang dilakukan
dengan menghitung kuantitas barang yang ada digudang di setiap akhir periode,
kemudian mengalikan dengan harga pokok per satuannya. Dengan cara ini, maka
jumlahnya baik fisik maupun harga pokoknya, tidak dapat diketahui setiap saat.
Konsekuensinya, jumlah barang yang hilang tidak dapat dideteksi denga sistem
ini.
b.
Sistem Perpectual
Dalam sistem perpectual, perubahan
jumlah persediaan dimonitor setiap saat.Caranya adalah dengan menyediakan satu
kartu persediaan untuk setiap jenis persediaan. Kartu ini berfungsi sebagai
buku pembantu persediaan dan digunakan untuk mencatat mutasi setiap hari.
Economic Order Quantity (EOQ)
Menurut Petrus (2001), ada model
sederhana untuk menentukan berapa jumlah dan kapan persediaan harus diadakan,
yaitu dengan menggunakan model yang menyatakan:
1.
Simpan persediaan sebanyak kebutuhan
selama satu tahun
2.
Pesan kembali jika persediaan hampir
habis
3.
Jangan pesan persediaan jika tidak ada
tempat untuk menyimpannya.
Model ini tidak
mempunyai dasar perhitungan tertentu.Pada prinsipnya model tersebut hanya
melihat masalah waktu, ketersediaan barang dan tempat penyimpanan.
Model EOQ pertama kali diperkenalkan
oleh FW.Harris pada tahun 1915. Persediaan dianggap mempunyai dua macam biaya,
biaya pesan/ ordering cost/ set up cost dan biaya simpan/carring
cost/holding cost.
Heizer dan Render (2005) menyatakan EOQ
merupakan salah saru teknik pengendalian persediaan tertua dan paling terkenal.
Teknik ini relative mudah digunakan, tetapi didasarkan pada beberapa asumsi:
1.
Tingkat permintaan diketahui dan
bersifat konstan
2.
Lead time, yaitu waktu antara pemesanan
dan penerimaan pesanan, diketahui, dan bersifat konstan. Ada dua macam
pegertian Lead time, pada produksi, berarti jangka waktu sejak barang mulai
dibuat sampai dengan selesai dikerjakan; dalam pembelian, berarti jangka waktu
sejak barang dipesan sampai barang tiba/datang.
3. Persediaan diterima dengan segera.
Dengan kata lain, persediaan yang dipesan tiba dalam bentuk kumpulan produk,
pada satu waktu
4. Tidak mungkin diberikan diskon
5. Biaya variabel yang muncul hanya biaya
pemasangan atau pemesanan dan biaya penahanan atau penyimpanan persediaan
sepanjang waktu
6. Keadaan kehabisan stok (out of stock)
dapat dihindari sama sekali bila pemesanan dilakukan pada waktu yang tepat.
Rumusan
EOQ yang biasa digunakan adalah:
EOQ =
……………………..
Dimana:
S = Biaya pemesanan ( persiapan pesanan dan penyiapan mesin ) per pesanan
D
= penggunaan atau permintaan yang diperkirakan per periode waktu.
H=
Biaya penyimpanan per unit per tahun
Sukanto (2003) menyatakan bahwa apabila
anggapan yang digunakan dalam model EOQ diberlakukan, maka dimungkinkan membuat
kebijaksanaan persediaan yang meminimumkan biaya total.Kebijakan persediaan
dapat menentukan jumlah pesanan ekonomis yang bertalian dengan penentuan berapa
banyak dipesan dan titik pemesanan kembali yang bertalian dengan kapan
mengadakan pesanan.
Sedangkan konsep Just In Time
atau “Sistem Kanban” dalam Rangkuti (2000) menyatakan “konsep just-in-time
bertujuan untuk meminimalkan biaya penyimpanan. Dengan demikian, apabila
tingkat persediaan lebih rendah dari pada EOQ, maka
ordering
cost
akan meningkat dan total biaya akan lebih tinggi daripada optimal. Dengan
demikian, untuk mengimplementasikan konsep just-in-time, sangat penting
untuk biaya pemesanan atau set-up lebih rendah daripada nilai
sebelumnya”.
Menurut Hani handoko (2000) model EOQ
digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan biaya
langsung penyimpanan persediaan dan biaya kebalikannya (inverse cost) pemesanan
persediaan.
Buffa(2002) menyatakan dengan menetapkan
kebijaksanaan EOQ maka di dalam setiap tahun dapat ditentukan lebih banyak
order dalam jangka waktu beberapa kali saja sehingga kurang begitu sering menghadapi
risiko kehabisan stock.
Apabila jumlah permintaan atau kebutuhan
lebih besar dari pada tingkat persediaan yang ada, maka akan terjadi kekurangan
persediaan atau bisa disebut dengan stock out. Pada situasi ini, perusahaan
akan mengalami dua kemungkinan
a.
Permintaan akan dibatalkan sama sekali
b.
Barang yang masih kurang akan dipenuhi
kemudia
Perusahaan tidak akan memilih pada point
pertama, karena akan menghilangkan simpati pelanggan dan akan berpengaruh
kepada image perusahaan. Barang yang masih kurang akan dipenuhi pada putaran
produksi berikutnya.
Out of Stock cost merupakan biaya yang
timbul karena jumlah persediaanyang
ada tidak mampu memenuhi jumlah pesanan atau order yang ada. Biaya Out of
Stock / Stock Out ada 2 jenis:
1.
Lost Sales Cost,
biaya yang disebabkan karena adanya kekurangan persediaan sehingga konsumen
memilih untuk membatalkan pesanannya. Besarnya biaya ini seimbang dengan
keuntungan atau laba yang akan didapatkan dari penjualan produk tersebut.
2.
Back Order Cost,
terjadi ketika konsumen masih bersedia untuk menunggu hingga pesanannya
dipenuhi, sehingga dalam hal ini penjualan tidak hilang melainkan hanya
ditunda. Biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memproses ulang
pesanan, dan biaya transportasi tambahan jika sepertinya pesanan tersebut tidak
dapat didistribusikan melalui distribusi secara normal.
Kapasitas
Lebih (Over Stock)
Kapasitas lebih (over stock)
dalam persediaan merupakan stock atau persediaan yang disimpan akibat tidak
seluruhnya dapat terserap oleh pasar.
Barry
(1972) dalam Buffa (2002) menyatakan “ apabila dari periode yang satu ke
periode yang lain jumlah permintaan ternyata tidak sama, sebagaimana yang
sering terjadi di dalam ramalan mengenai kebutuhan, hal itu berarti bahwa salah
satu asumsi yag melandasi rumus EOQ telah dilanggar. Karena permintaan tidak
terjadi menurut tingkat yang konstan, sebagaimana diasumsikan oleh rumus EOQ,
pembatasan ukuran jumlah yang tetap akan mengakibatkan biaya persediaan yang
makin meningkat. Hal ini terjadi karena antara kuantitas pesanan dan nilai
permintaan tidak cocok, sehingga kelebihan persediaan harus dipindahkan dari
minggu ke minggu”.
Titik Pemesanan Ulang (Reorder Point)
Menurut Heizer dan Render (2005)
model-model persediaan mengasumsikan bahwa suatu perusahaan akan menuggu sampai
tingkat persediaannya mencapai nol sebelum perusahaan memesan lagi, dan dengan
seketika kiriman akan diterima. Keputusan akan memesan biasanya diungkapkan
dalam konteks titik pemesananulang, tingkat persediaan dimana harus dilakukan
pemesanan.
ROP atau biasa disebut dengan
batas/titik jumlah pemesanan kembali termasuk permintaan yang diinginkan atau
dibutuhkan selama masa tenggang, misalnya suatu tambahan/ekstra stock. Menurut
Freddy Rangkuti, reorder point mempunyai beberapa model, diantaranya yaitu:
1.
Jumlah permintaan maupun masa tenggang
adalah konstan.
2.
Jumlah permintaan adalah variable,
sedangkan masa tenggang adalah konstan
3.
Jumlah permintaan adalah konstan,
sedangkan masa tenggang adalah variable
4.
Jumlah permintaan maupun masa tenggang
adalah variable.Reorder Point
sangat membantu perusahaan dibandingkan MRP dalam mengatasi masalah kapan harus
dilakukan pemesanan. Menurut Rangkuti (2000) MRP (Material requirement
planning) adalah suatu jenis system perencanaan dan penjadwalan kebutuhan
material untuk produksi yang memerlukan beberapa tahapan proses/fase.MRP
digunakan untuk persediaan dengan system dependent inventori, sedangkan reorder
point digunakan untuk Independent Inventory. Beberapa perbedaan
pokok antara MRP dan Sistem Titik Pemesanan.
Tabel
2.1
Perbandingan
Antara Sistem MRP dan Sistem Titik Pemesanan
|
MRP
|
Titik Pemesanan
|
Permintaan
Filosofi Pemesanan
Peramalan
Konsep Pengendalian
Tujuan
Ukuran Satuan
Pola Permintaan
Tipe persedisaan
|
Tidak bebas
Kebutuhan
Berdasarkan Jadwal Induk
Kendali Seluruh Barang
Memenuhi Kebutuhan Proses Manufaktur
Diskrit
Tidak mrmrnuhi tapi dapat diprediksi
Barang dalam proses dan bahan mentah
|
Bebas
Penambahan Ulang
Berdaarkan Permintaan yang Lalu
ABC
EOQ
Acak
Barang Jadi dan Suku Cadang
|
Sumber:
Roger G Schroeder, “ Manajemen Operasi, Pengambilan Keputusan dalam Suatu
Fungsi Operasi, jilid 2, edisi ketiga, 1994”
Menurut
Donald (2002)
“peramalan merupakan cara perusahaan untuk
mencari tahu limit ketidakpastian masa depan terhadap operasi perusahaan.
Ramalan tentang permintaan ini akan memberikan mata rantai penghubung antara
perusahaan dengan lingkungan pasarnya. Hasil yang diharapkan dari peramalan ini
adalah seperangkat perkiraan dari seluruh manajer mengenai level yang
diharapkan dari kegiatan bisnis di masa depan dan perkiraan prestasi penjualan
dari masing-masing produk”.
Kombinasi dari kebijaksanaan EOQ dan persediaan
pengamanan menentukan standart bagi mekanisme pemesanan kembali (reordering).
Persediaan Pengamanan (Safety Stock)
Agus
Ristono (2008) menyatakan “persediaan pengamanan atau safety sotck adalah
persediaan yang dilakukan untuk mengantisipasi unsur ketidakpastiaan permintaan
dan penyediaan. Apabila persediaan pengamanan tidak mampu mengantisipasi
ketidakpastian tersebut, akan terjadi kekurangan persediaan (stockout).”
Safety
stock bertujuan untuk menentukan berapa besar stock yang dibutuhkan selama masa
tenggang untuk memenuhi besarnya permintaan.
Menurut
Freddy Rangkuti (1996) “Jumlah safety stock yang sesuai dalam kondisi tertentu
sangat tergantung pada factor-faktor sebagai berikut:”
1.
Rata-rata tingkat permintaan dan
rata-rata masa tenggang
2.
Variabilitas permintaan dan masa
tenggang
3.
Keinginan tingkat pelayanan yang
diberikan.
Untuk tingkat pelayanan dari siklus
pemesanan, besarnya tingkat permintaan atau masa tenggang menyebabkan jumlah
safety stock harus lebih banyak sehingga dapat memenuhi tingkat pelayanan yang
diinginkan.
Menurut Donal (2002) “jumlah persediaan
pengamanan dalam suatu sistem logistic bergantung kepada sasaran tingkat
pelayanan, waktu pesanan, perbedaan waktu pesanan, dan jumlah fasilitas yang
menyediakan sejumlah persediaan tertentu”.
Dengan kata lain, dengan berbagai
variasi terhadap tingkat permintaan dan masa tenggang, dapat dicapai
peningkatan tingkat pelayanan sehingga dapat merefleksikan biaya kehilangan
penjualan (misalnya kehilangan penjualan, ketidaksesuaian dengan keinginan
konsumen) atau dapat juga diakibatkan oleh adanya kebijakan, misalnya keinginan
manajer untuk memberikan tingkat pelayanan tertentu untuk jenis barang
tertentu.
Inventory Turn Over
Konsep yang berkaitan dan selalu
digunakan oleh manajemen untuk memonitor tingkat persediaan.Inventory Turn Over
termasuk kedalam pengukuran relative investasi.Perputaran persediaan merupakan
angka yang menunjukkan kecepatan pergantian dalam periode tertentu, biasanya
dalam waktu satu tahun.
Namun, karakteristik turn over tidak
dapat sepenuhnya dipakai sebagai ukuran kinerja perusahaan, karena hal ini
menghilangkan factor biaya penting lainnya sehingga dapat menyebabkan tindakan
yang dapat menurunkan laba (profit). Prinsipnya, semakin tinggi Inventory
Turn Over berarti kinerja persediaan semakin baik
Economic
Order interval
Persediaan dengan menggunakan model
EOQ/ROP, sangat berkaitan dan berpengaruh terhadap interval waktu pemesanan
secara tetap. Freddy menyatakan “ penggunaan interval waktu pemesanan yang
tetap lebih praktis”.
Keuntungan
dan Kerugian Economic Order Interval
1. Metode ini menghasilkan control yang
ketat terhadap kelompok A dalam klasifikasi A-B-C karena adanya evaluasi secara
periodic yang diperlukan.
2.
Untuk segi negativenya, system ini
sangat membutuhkan jumlah relative besar untuk safety stock, untuk
risiko kehabisan persediaan karena adanya proteksi dengan kehilangan penjualan
selama interval pemesanan ditambah dengan masa tenggang (sebagai ganti masa
tenggang) dan hal ini akan meningkatkan biaya penyimpanan. Juga ada biaya
evaluasi secara periodic.
Metode
Analisis ABC
Analisis ABC merupakan salah satu model
yang digunakan untuk memecahkan masalah penentuan titik optimum, baik jumlah
pemesanan maupun order point. Analisis ABC sangat berguna dalam memfokuskan
perhatian manajemen terhadap penentuan jenis barang yang
paling penting dalam system inventori yang bersifat multisystem.
ABC Analisis mengklasifikasikan
persediaan dalam tiga kategori, yaitu: A, B, dan C dengan basis volume
penggunaan biaya persediaan dalam setahun. Analisis ABC adalah sebuah aplikasi
persediaan dari prinsip Pareto, dikembangkan oleh Vilfredo Pareto ahli ekonomi
Italia, yang menyatakan bahwa “ terdapat sedikit hal yang penting dan banyak
hal yang sepele.” Tujuannya adalah membuat kebijakan persediaan yang memusatkan
sumber daya pada komponen persediaan penting yang sedikit dan bukan pada yang
banyak tetapi sepele.Menurut Freedy Rangkuti (1996),
“Masing-masing jenis barang membutuhkan analisis tersendiri untuk mengetahui
besarnya order size dan order point.” Namun demikian, harus kita sadari bahwa
berbagai macam jenis barang yang ada dalam persediaan tersebut tidak seluruhnya
memiliki tingkat prioritas yang sama.
Freddy Rangkuti (1996) menyatakan
Prosedur Analisis ABC bisa dilakukan dengan cara menentukan standar atau
kinerja untuk pengelompokan semua jenis barang, urutan semua jenis barang tersebut
dalam persediaan berdasarkan ukuran standar.
Dalam
analisis abc ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
1)
Berkaitan dengan kinerja ukuran. Nilai
penjualan sering digunakan sebagai ukuran kinerja, untuk memperoleh keputusan
yang berbeda, ukuran yang dipakai harus sesuai dengan tujuan pengambilan
keputusan. Dengan demikian, criteria ukuran yang dipakai harus menunjukkan
skala terbaik dari keputusan yang diambil.
2)
Perusahaan memiliki jenis barang yang
masuk dalam kategori kelompok C berdasarkan kriteria penjualan, tetapi sangat
penting untuk pelanggan. Meskipun komponen tersebut perlu mendapatkan perhatian
khusus dari pihak manajemen, sama seperti jenis barang terdapat dalam kelompok
A dan B.